Imunisasi Anak Tidak Penting, Apa Benar?

DITULIS OLEH:
Cindy Wijaya 

Juli 25, 2016


Berkembangnya pemberitaan seputar vaksin palsu di Indonesia mendorong maraknya gerakan anti vaksin untuk anak. Sebenarnya kelompok anti imunisasi ini sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia sejak lama. Namun gerakan ini menjadi semakin berkembang dalam beberapa pekan ini seiring dengan munculnya rasa takut dari kalangan orang tua untuk memberikan imunisasi bagi buah hati mereka.

Bagaimanapun rasa takut yang muncul pada kalangan orang tua sebenarnya sangat masuk akal, mengingat cukup banyak instansi kesehatan yang terkait dengan isu vaksin palsu, bahkan juga termasuk sejumlah rumah sakit besar di Jakarta.

Rasa takut ini mendorong banyak orang tua mulai berpikir dua kali untuk memberikan imunisasi pada anak mereka. Meski diklaim secara resmi bahwa vaksin palsu yang beredar sama sekali bebas efek samping, tetapi banyak kalangan masih khawatir bila vaksin ini memberi efek samping berbahaya untuk anak di masa depan mereka.

Ketakutan ini menjadi pupuk terbentuknya pandangan anti vaksin. Sebenarnya pandangan ini sudah ada sejak tahun 1800-an di Amerika seiring dengan munculnya sejumlah kasus berkaitan dengan efek samping imunisasi DPT terhadap kesehatan sistem saraf.

Namun akhirnya pandangan ini terbantahkan dalam riset tahun 1991 oleh Wentz dan Marcus sesuai dengan jurnal Diphtheria-tetanus-pertussis vaccine and serious neurologic illness: an updated review of the epidemiologic evidencepada National Institutes of Health.

Tak bisa lepas dari kontroversi tersebut, sejumlah kontroversi lain terkait efek samping imunisasi terus berkembang sampai hari ini. Termasuk di antaranya isu berkaitan dengan efek samping virus MMR terhadap kondisi autis, dan masih masih banyak kecurigaan lain yang akhirnya kembali tidak sepenuhnya bisa dibuktikan secara medis.

Selain itu, dalam laman resmi WHO, ditemukan sejumlah pandangan lain yang mendorong munculnya gerakan anti vaksin. Termasuk di antaranya pandangan yang menganggap vaksin merupakan bentuk penyimpangan terhadap aspek religi, pandangan bahwa segala jenis penyakit bisa diatasi dan dicegah dengan meningkatkan kebersihan. Hingga pandangan mengenai kerusakan tubuh akibat stimulan imunitas yang berlebihan. Selain itu sejumlah pandangan menilai justru menyuntikan virus dalam tubuh akan memberi efek kerusakan dalam tubuh.

Lalu sebenarnya, bagaimana seharusnya memandang imunisasi? Apakah benar vaksin untuk anak itu berbahaya dan apakah Anda bisa memilih keputusan tidak menjalankan imunisasi adalah sebuah langkah yang tepat? Untuk bisa menjawab keraguan ini mari kita mencoba melihat imunisasi ini dalam beberapa sudut pandang dan kondisi.

Imunisasi bisa menyebabkan efek samping dan penyakit?

Sejumlah orang memiliki masalah dengan kondisi autoimun yang menyebabkan tubuh memunculkan reaksi alergi. Namun secara umum kasus reaksi efek samping dari imunisasi terbilang sangat langka. Menurut Healthline, secara rata-rata kasus efek samping masih berada dalam kisaran di bawah 1%, bahkan kurang dari 0,5%.

Dalam kasus lain munculnya keluhan sakit selain keluhan demam ringan karena imunisasi sebenarnya akan berkaitan dengan momen ketika Anda memberikan imunisasi. Sejumlah riset menunjukan kasus resiko ini terjadi karena pasien sudah mengalami penurunan kondisi atau sedang dalam kondisi sakit ketika imunisasi dilakukan.

Bahkan di sejumlah negara sudah dibangun lembaga khusus yang mengawasi efek samping imunisasi. Di Indonesia sendiri lembaga ini berada langsung dalam naungan DEPKES, sedangkan di Amerika berada dalam bendera semi independen Vaccine Adverse Events Reporting System (VAERS). Organisasi ini sepenuhnya berada dalam pengawasan dan koneksi dengan WHO sehingga keluhan dari satu negara akan ditindak lanjuti secara Internasional.

Efektifitas imunisasi diragukan?

Mari kita melihat salah satu data mengenai catatan penderita campak dari tahun 2001 hingga 2015 di Amerika yang kami kutip dari Healthline. Dalam catatan tersebut, terbukti bahwa sejak penerapan efektif dari vaksin campak, jumlah penderita campak menunjukan penurunan yang signifikan.

Namun seiring dengan maraknya gerakan anti vaksin di Amerika, setidaknya lebih dari 20% anak di Amerika tidak mendapatkan imunisasi campak sebagaimana seharusnya. Dan fakta menunjukan sejak tahun 2014, pasien penderita campak kembali meningkat hingga lebih dari 600 kasus campak dilaporkan. Dan konon sejumlah riset menunjukkan pasien-pasien ini datang dari kalangan anti vaksin.

Imunisasi bisa diganti dengan stimulan imunitas?

Ada perbedaan mendasar antara imunisasi dengan stimulan imunitas baik itu dari jenis obat medis atau dari jenis herbal. Meski diakui secara empiris adanya efektifitas dari sejumlah obat dan herbal dalam membantu mendorong dan mengaktifkan sistem imunitas tubuh, tetapi cara kerjanya tak bisa menyerupai cara kerja imunisasi.

Karena imunisasi menyebabkan sistem imun tubuh melakukan identifikasi virus dan membuatnya membentuk sistem imun spesifik yang khusus dibangun untuk melawan virus bersangkutan. Hasilnya, dalam kondisi imun rendah sekalipun tubuh tetap efektif membentuk perlawanan terhadap inkubasi virus tersebut.

Berbahaya memberikan imunisasi yang terlambat?

Ini berkaitan dengan kasus vaksin palsu dimana pasien disarankan untuk mendapatkan vaksin pengganti. Pihak DEPKES memerintahkan pemberian vaksin pengganti secara langsung tanpa mempertimbangkan faktor usia. Ini membuat banyak orang tua ragu, apakah berbahaya memberikan vaksin yang dalam jadwal seharusnya diberikan pada usia di bawah 1 tahun justru diberikan pada anak usia di atas 1 tahun.

Kadang keluhan serupa juga muncul dari kalangan orang tua yang sempat terlewatkan jadwal imunisasi dan akhirnya memutuskan tidak memberikan imunisasi pada anak dengan pandangan khawatir karena sudah terlambat.

Menurut WHO, usia yang distandarkan untuk vaksin ditentukan berdasarkan tingkat efektifitas dari kondisi anak atau bayi dengan jenis dan karakter vaksin. Namun demikian, vaksin tetap baik diberikan pada usia diluar jadwal karena pada dasarnya penurunan efektifitasnya tidak cukup besar untuk dikhawatirkan.

Lagi pula, jadwal vaksin ditentukan supaya pemberian vaksin tidak dijalankan bertubi-tubi yang bisa memberi efek over stimulan terhadap imunitas. Sehingga selama anak tetap mendapatkan jeda jadwal sebagaimana seharusnya, faktor keterlambatan usia tidak akan memberi efek yang signifikan.

Kini Anda bisa memandang dengan lebih objektif mengenai imunisasi, bukan? Bahwa sejumlah isu yang marak tidak sepenuhnya bisa dipercayai. Dan bahwa meski kini Indonesia masih dalam ancaman vaksin palsu, selama Anda memilih instansi kesehatan terpercaya dalam memberikan vaksin untuk anak, tampaknya imunisasi masih menjadi solusi terbaik untuk membantu memberikan kehidupan yang lebih sehat bagi buah hati.

Tentang Penulis

Artikel dibuat oleh tim penulisan deherba.com kemudian disunting oleh Cindy Wijaya seorang editor dan penulis beragam artikel kesehatan. Ia senang meriset dan berbagi topik-topik kesehatan dan pemanfaatan herbal. Tinggal di Bogor “kota hujan” sehingga mencintai suasana hujan dan sering mendapat inspirasi ketika hujan. Silakan klik di sini untuk kontak penulis via WhatsApp.

Anda mendapat manfaat dari artikel-artikel kami? Mohon berikan ulasan untuk terus menyemangati kami menulis > Google Review

{"email":"Email address invalid","url":"Website address invalid","required":"Required field missing"}