Detoks Digital: Solusi dari Kecanduan Teknologi

DITULIS OLEH:
Cindy Wijaya 

Januari 22, 2018


Berapa sering Anda mengecek smartphone sepanjang hari? Dan apakah Anda jadi merasa stres karenanya? Bagaimana detoks digital, atau kadang juga disebut puasa gadget, dapat membantu mengatasi stres semacam itu?

Sebuah survei baru yang dilangsungkan oleh lembaga American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa ketergantungan kita dengan teknologi dan media sosial bisa sangat berdampak pada tingkat stres dan kesehatan.

Survei tersebut, yang dilakukan oleh Harris Poll atas nama APA, memberikan petunjuk mengenai hubungan antara stres, kesehatan, dan penggunaan teknologi. Sebagai kelanjutan dari survei-survei sebelumnya, sebanyak 3.511 orang dewasa di Amerika diwawancarai seputar penggunaan teknologi, stres, dan kesejahteraan mereka antara tanggal 5 Agustus sampai 31 Agustus 2016.

Hasil Survei Menimbulkan Kekhawatiran

Hasil-hasil survei APA memperlihatkan bahwa sebenarnya semua orang dewasa (99 persen) memiliki setidaknya satu alat elektronik (termasuk TV), 86 persen memiliki komputer, 74 persen memiliki smartphone yang terakses ke internet, dan 55 persen memiliki tablet.

Secara keseluruhan, penggunaan media sosial telah meroket selama jangka 10 tahun terakhir, dari hanya 7 persen pada 2005, menjadi 65 persen pada 2015. Untuk orang dewasa muda (usia 18 – 29), persentase ini bahkan lebih tinggi lagi dengan 90 persen dilaporkan rutin menggunakan media sosial.

Platform media sosial terpopuler tetaplah Facebook, dimana 79 persen dari partisipan dilaporkan menggunakannya selama 2016. Platform populer lain adalah Instagram (32 persen), Pinterest (31 persen), LinkedIn (29 persen), dan Twitter (24 persen).

Hasil-hasil survei juga menunjukkan bahwa 43 persen orang Amerika adalah “pengecek tetap” yang berulang-kali mengecek email, akun media sosial, atau pesan singkat mereka selama sepanjang hari. Seperti sudah diduga, para pengecek tetap melaporkan bahwa mereka jauh lebih stres dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak rutin mengecek.

Dampak Buruk Perkembangan Teknologi

“Munculnya perangkat-perangkat mobile dan media-media sosial selama dasawarsa terakhir, memang telah mengubah cara hidup dan cara komunikasi sehari-hari orang Amerika,” ujar Lynn Bufka, PhD, direktur eksekutif asosiasi APA untuk penelitian dan kebijakan praktik pada siaran pers.

“Sekarang, hampir semua orang dewasa Amerika memiliki setidaknya satu perangkat elektronik, dan banyak diantara mereka secara terus-menerus terhubung dengan perangkat tersebut. Mereka tidak berpikir bahwa secara terus-menerus terhubung dengan perangkat elektronik, meski dapat membantu kita dalam beragam cara, bisa berdampak negatif pada kesehatan fisik maupun mental mereka.”

Hampir seperlima orang Amerika yang disurvei (18 persen) menganggap tekonologi sebagai sumber stres. Secara keseluruhan, satu aspek dari teknologi yang paling mungkin menimbulkan stres adalah ketika itu gagal berfungsi—dimana 20 persen orang dewasa melaporkan stres akibat gangguan koneksi, atau masalah pada hardware/software.

Dan keinginan untuk terus mengecek tampaknya berkaitan dengan keinginan mereka untuk selalu (atau agak rutin) terhubung secara online. Pada partisipan yang bekerja, 45 persen melaporkan mereka ‘selalu terhubung’, sedangkan 40 persen menganggap diri mereka ‘sering terhubung’.

Pada partisipan yang belum bekerja, persentase dari mereka yang menganggap diri sebagai ‘selalu terhubung’ menurun menjadi 34 persen, sedangkan 47 persen dari mereka mengaku ‘sering terhubung’.

Bahkan pada hari-hari libur, para pekerja yang selalu mengecek email mereka masih mengaku merasa lebih stres. Para pengecek tetap juga lebih rentan merasa stres akibat perdebatan politik atau budaya di lingkup online.

Manfaat dari Detoks Digital

Tampaknya ada semakin banyak perbedaan antara para pengecek tetap dan non-tetap. Para pengecek tetap bukan hanya lebih khawatir tentang tanggapan-tanggapan negatif di media sosial, tetapi mereka juga mengaku merasa semakin ‘terasing’ dengan keluarga mereka (meski berada di ruangan yang sama). Mereka juga jauh lebih jarang bertemu dengan keluarga dan teman secara langsung, bukan hanya melalui media sosial.

Meskipun sebagian besar orang Amerika yang disurvei (65 persen) menganggap detoks digital atau puasa gadget atau sementara berhenti menggunakan perangkat-perangkat digital sebagai cara bagus untuk menjaga kesehatan mental, namun hanya 28 persen dari mereka yang benar-benar berhasil melakukannya.

Ada cara-cara lain yang diungkapkan oleh partisipan untuk mengekang penggunaan teknologi mereka. Misalnya dengan mematikan notifikasi media sosial dan tidak mengizinkan penggunaan smartphone sewaktu makan bersama di meja makan.

Tantangan bagi Orang Tua

Kaum Milenial kelihatannya jauh lebih bergantung pada teknologi daripada generasi yang lebih tua. Dan mereka sering menganggap teknologi sebagai cara penting untuk membangun identitas diri mereka.

Akan tetapi, mereka juga melaporkan adanya stres terkait teknologi yang paling tinggi dibandingkan dengan kaum Generasi X, Baby Boomer, dan para lansia. Mereka juga jauh lebih rentan merasa ‘terasing’ dengan keluarga mereka serta mengalami konflik di rumah yang terkait dengan teknologi.

Survei APA juga menyoroti beberapa tantangan yang sering dihadapi para orang tua sewaktu mencoba menjalin hubungan sehat dengan anak-anak mereka, sambil tetap terhubung online. Bahkan pada saat tidak bekerja, 67 persen orang tua melaporkan sering atau selalu mengecek email, dan 57 persen mengecek media sosail.

Tidak mengherankan bila orang tua merasa kesulitan saat mencoba mengekang anak-anak mereka dari aktivitas online. Bukan hanya hampir separuh dari orang tua yang disurvei (45 persen) mengaku merasa ‘terpisah’ dari anak-anak mereka akibat teknologi, tapi lebih dari separuh (58 persen) mengeluh bahwa anak-anak mereka tampaknya sudah ‘lengket’ permanen ke HP atau tablet mereka.

Kebanyakan orang tua (58 persen) juga melaporkan bahwa mereka khawatir akan bagaimana kemajuan teknologi nantinya memengaruhi kesehatan mental anak-anak mereka.

Dan kelihatannya ada bedanya antara anak laki-laki dengan perempuan. Remaja perempuan dianggap jauh lebih mungkin menggunakan media sosial daripada laki-laki. Mereka juga terlihat lebih rentan terhadap efek-efek negatif media sosial daripada remaja laki-laki (perbandingannya 69 : 39 persen).

Kesimpulan

Jadi, apa yang bisa kita lakukan atas kecanduan digital ini? Mengingat bagaimana kita telah menjadi bergantung selama bertahun-tahun, maka tidak ada solusi cepat untuknya selain dengan menerapkan detoks digital. Ini adalah masa ‘puasa’ atau istirahat dari seluruh aktivitas online, termasuk berkirim pesan singkat dan email.

Para orang tua yang khawatir dengan anak-anak mereka mungkin seharusnya menjadi contoh dalam memperlihatkan betapa bermanfaatnya detoks digital ini, entah itu dilakukan hanya untuk seminggu atau lebih lama. Jadi, cobalah untuk sesekali sengaja tinggalkan smartphone di rumah saat bepergian. Dan rasakan sendiri manfaat dari detoks digital atau puasa gadget.

Tentang Penulis

Artikel dibuat oleh tim penulisan deherba.com kemudian disunting oleh Cindy Wijaya seorang editor dan penulis beragam artikel kesehatan. Ia senang meriset dan berbagi topik-topik kesehatan dan pemanfaatan herbal. Tinggal di Bogor “kota hujan” sehingga mencintai suasana hujan dan sering mendapat inspirasi ketika hujan. Silakan klik di sini untuk kontak penulis via WhatsApp.

Anda mendapat manfaat dari artikel-artikel kami? Mohon berikan ulasan untuk terus menyemangati kami menulis > Google Review

{"email":"Email address invalid","url":"Website address invalid","required":"Required field missing"}