Stockholm Syndrome: Penyebab, Gejala, dan Pengobatannya

DITULIS OLEH:
Cindy Wijaya 

November 16, 2020


Stockholm syndrome, mungkin Anda sudah pernah mendengar istilah ini dari cerita fiksi, entah itu di film atau novel. Sering kali sindrom ini dikaitkan dengan situasi penculikan dan penyanderaan. Namun sebenarnya di dunia nyata apakah Stockholm syndrome memang selalu berkaitan dengan dua hal tersebut?

Apa sebenarnya Stockholm syndrome itu? Apa saja penyebab Stockholm syndrome? Bacalah artikel ini sampai habis untuk mengetahui lebih jelas mengenai sindrom ini, penyebabnya, gejalanya, dan pengobatannya.

Apa Itu Stockholm Syndrome?

Stockholm syndrom (bahasa Indonesia: sindrom Stockholm) adalah istilah untuk sebuah respons psikologis terhadap penawanan dan penganiayaan. Seorang penderita sindrom ini mengembangkan keterikatan positif dengan si penculik atau pelaku penganiayaan.

Sampai saat ini para ahli masih belum sepenuhnya memahami bagaimana terbentuknya respons ini, tetapi mereka menduga kemungkinan itu merupakan mekanisme coping (cara mengatasi) bagi orang-orang yang mengalami trauma.

Seseorang dapat mengembangkan sindrom Stockholm ketika ia mengalami ancaman yang besar terhadap kesejahteraan fisik atau psikologisnya.

Orang yang diculik dapat mengembangkan keterikatan positif dengan penculiknya jika ada interaksi tatap muka di antara mereka.

Jika orang tersebut pernah mengalami penganiayaan fisik dari penculiknya, ia mungkin merasa bersyukur saat pelaku memperlakukannya secara manusiawi atau tidak menyakitinya secara fisik.

Seseorang mungkin juga mencoba untuk menyenangkan si pelaku sebagai upaya untuk mencegah penganiayaan darinya. Strategi ini secara positif dapat memperkuat gagasan bahwa ia mungkin lebih baik bekerja sama dengan si pelaku atau penculik. Ini bisa menjadi faktor lain di balik timbulnya sindrom Stockholm syndrome.

Meski begitu kebanyakan tawanan dan korban penganiayaan tidak mengembangkan sindrom ini.

Pakar kesehatan mental tidak mengakui sindrom Stockholm sebagai gangguan kesehatan mental yang resmi. Karena itu kondisi ini tidak terdaftar dalam edisi kelima dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5).

Apa Penyebab Stockholm Syndrome?

Para peneliti, ahli psikologi, dan ahli krimonologi belum sepenuhnya memahami sindrom Stockholm, akibatnya beberapa masih terus memperdebatkan keberadaannya.

Namun, para ahli meyakini bahwa penyebab Stockholm syndrome ada kaitannya dengan situasi-situasi berikut ini:

  • Penculik memperlakukan korbannya secara manusiawi.
  • Korban dan penculik memiliki interaksi tatap muka yang signifikan, yang memberikan peluang untuk saling terikat satu sama lain.
  • Korban merasa bahwa aparat penegak hukum tidak melakukan tugasnya dengan baik.
  • Korban berpikir bahwa polisi dan pihak berwenang lainnya tidak mengutamakan kepentingan mereka.

Bagaimana Gejala Stockholm Syndrome?

Stockholm syndrome dapat dikenali berdasarkan tiga peristiwa atau “gejala” yang berbeda. Tiga peristiwa atau gejala tersebut adalah:

  • Korban mengembangkan perasaan positif terhadap orang yang menawan atau menganiaya mereka.
  • Korban mengembangkan perasaan negatif terhadap polisi, aparat penegak hukum, atau siapa pun yang mungkin mencoba membantu mereka menjauh dari penculiknya. Korban bahkan mungkin menolak untuk bekerja sama melawan penculiknya.
  • Korban mulai melihat sisi kemanusiaan dari penculiknya dan percaya bahwa mereka punya tujuan dan nilai-nilai yang sama.

Tiga perasaan tersebut biasanya terjadi akibat situasi emosional dan sangat menuntut yang terjadi selama situasi penyanderaan atau penganiayaan.

Misalnya, orang yang diculik atau disandera sering kali merasa terancam oleh penculiknya, tetapi mereka juga sangat bergantung pada mereka untuk bertahan hidup. Jika penculik atau pelaku penganiayaan menunjukkan sedikit kebaikan, ia mungkin mulai merasakan perasaan positif terhadap penculiknya atas “belas kasihan” tersebut.

Seiring waktu, persepsi itu mulai membentuk kembali dan mengubah cara mereka memandang orang yang menyandera atau menganiaya mereka.

Contoh Kasus Stockholm Syndrome yang Terkenal


Patty Hearst: Cucu dari pengusaha dan penerbit surat kabar William Randolph Hearst diculik pada tahun 1974 oleh Symbionese Liberation Army (SLA). Selama penyanderaannya, dia meninggalkan keluarganya, mengadopsi nama baru, dan bahkan bergabung dengan SLA dalam merampok bank.

Belakangan, Hearst ditangkap, dan dia menggunakan Stockholm syndrome sebagai pembelaan dalam persidangannya. Pembelaan itu tidak berhasil, dan dia dijatuhi hukuman 35 tahun penjara.

Natascha Kampusch: Pada tahun 1988, Natascha yang saat itu berusia 10 tahun diculik dan ditahan di sebuah ruangan bawah tanah yang gelap dan terisolasi. Penculiknya, Wolfgang Přiklopil, menahannya selama lebih dari 8 tahun. Selama waktu itu, Wolfgang menunjukkan kebaikan padanya, tetapi dia juga memukulinya dan mengancam akan membunuhnya.

Akhirnya Natascha berhasil melarikan diri, dan Wolfgang bunuh diri. Laporan berita pada waktu itu melaporkan bahwa Natascha “menangis tersedu-sedu” setelah mendengar bahwa penculiknya bunuh diri.

Mary McElroy: Pada tahun 1933, empat pria menodong Mary yang berusia 25 tahun dengan senjata, lalu mengikatnya ke dinding di sebuah rumah pertanian yang ditinggalkan, dan meminta tebusan dari keluarganya.

Mary dibebaskan setelah penculiknya menerima permintaan tebusan mereka. Meskipun ia setuju bahwa para penculiknya harus menerima hukuman, tetapi Mary bersimpati terhadap mereka dan bahkan mengunjungi mereka di penjara.

Bagaimana Pengobatan Stockholm Syndrome?

Sindrom Stockholm adalah gangguan psikologis yang masih belum dikenali dengan baik dan tidak mempunyai definisi standar. Akibatnya, belum ada rekomendasi pengobatan resmi untuk Stockholm syndrome.

Akan tetapi terdapat psikoterapi dan pengobatan untuk membantu meringankan masalah yang terkait dengan pemulihan trauma, seperti depresi, kecemasan, dan PTSD.

Penderita sindrom ini dapat bekerja sama dengan psikolog dan psikiater yang berlisensi. Seorang psikiater dapat meresepkan obat yang bisa membantu meringankan gejala gangguan mood.

Psikolog dan konselor kesehatan mental yang berlisensi dapat membantu penderita untuk mengembangkan strategi dan peralatan untuk mencoba memahami dan menangani pengalaman buruk mereka.

Kesimpulan tentang Stockholm Syndrome

Berdasarkan apa yang telah dipahami saat ini, bisa dikatakan bahwa Stockholm syndrome adalah strategi coping (cara mengatasi) bagi korban terhadap situasi yang dialaminya. Korban penganiayaan atau penculikan mungkin mengembangkan sindrom ini.

Ketakutan atau ancaman umum terjadi dalam situasi tersebut, tetapi beberapa korban mulai mengembangkan perasaan positif terhadap pelaku penculikan atau penganiayaan. Mereka bahkan enggan untuk bekerja sama atau mengontak polisi. Atau mereka ragu-ragu untuk memberi info tentang pelaku penculik atau penganiaya kepada pihak berwenang.

Akan tetapi sindrom ini bukanlah gangguan kesehatan mental yang resmi. Jadi tidak ada diagnosis yang jelas untuk kondisi ini. Meski begitu terdapat pengobatan untuk membantu menangani pengalaman buruk atau trauma yang dialami oleh para penderita kondisi ini.

Demikianlah artikel ini yang mengupas tentang Stockholm syndrome. Semoga informasi ini dapat membantu Anda untuk mengerti fakta seputar kondisi ini. Nantikanlah ulasan-ulasan menarik lain seputar kesehatan hanya di Deherba.com.

Sumber

Sumber Referensi:

Healthline. What is Stockholm Syndrome and Who Does it Affect?. URL: https://www.healthline.com/health/mental-health/stockholm-syndrome

Medical News Today. What is Stockholm syndrome?. URL: https://www.medicalnewstoday.com/articles/stockholm-syndrome

Tentang Penulis

Artikel dibuat oleh tim penulisan deherba.com kemudian disunting oleh Cindy Wijaya seorang editor dan penulis beragam artikel kesehatan. Ia senang meriset dan berbagi topik-topik kesehatan dan pemanfaatan herbal. Tinggal di Bogor “kota hujan” sehingga mencintai suasana hujan dan sering mendapat inspirasi ketika hujan. Silakan klik di sini untuk kontak penulis via WhatsApp.

Anda mendapat manfaat dari artikel-artikel kami? Mohon berikan ulasan untuk terus menyemangati kami menulis > Google Review

{"email":"Email address invalid","url":"Website address invalid","required":"Required field missing"}