Apa Penyebab Seseorang Menjadi Psikopat?

DITULIS OLEH:
Cindy Wijaya 

Januari 26, 2017


Apakah Anda pernah membaca tentang kasus pembunuhan berantai? Maksudnya bukan di buku-buku novel atau di film, tapi kisah nyata yang pernah terjadi, misalnya kasus Ryan dari Jombang yang diketahui membunuh 11 orang dan bahkan korban terakhirnya ditemukan dalam keadaan termutilasi.

Membaca kasus mengerikan seperti itu mungkin membuat Anda bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang manusia seperti kita—yang punya perasaan dan akal—bisa mencabut nyawa manusia-manusia lain secara sadis? Apakah mereka waras? Jika mereka waras, apa yang sebenarnya ada dalam pikiran mereka sampai begitu tega?

Banyak yang menduga bahwa para pelaku pembunuhan berantai adalah para psikopat berdarah dingin. Namun sebelum mencap orang dengan label ‘psikopat’, sebaiknya kita memahami dulu bagaimana sebenarnya perilaku orang yang psikopat.

Menurut para peneliti, dari seluruh populasi manusia hanya ada sekitar 1 persen orang yang mengidap psikopat. Dan dari seluruh pelaku kejahatan yang berjenis kelamin pria, ada kira-kira 25 persen yang psikopat.

Situs Mayo Clinic mendeskripsikan psikopat sebagai suatu gangguan kepribadian yang membuat pengidapnya “biasanya tidak sanggup membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Mereka mungkin sering melanggar hukum dan mengambil hak orang lain.” Seringkali, psikopat dicirikan dengan kurangnya empati, perilaku antisosial, dan kurang pengendalian diri.

Kecenderungan Untuk Menjadi Psikopat

Di tahun 1990 pernah ditayangkan video dokumenter mengenai seorang anak yang disebut memiliki ‘kecenderungan psikopatik’. Para psikolog meyakini bahwa hal ini disebabkan oleh penganiayaan yang anak ini alami selama diasuh oleh orang tuanya.

Namun anak ini TIDAK menjadi psikopat, karena setelah menjalani terapi dan diasuh oleh orang tua angkat yang sangat menyayanginya, anak ini bertumbuh menjadi orang dewasa yang memiliki kepribadian normal. Kecenderungan psikopatik yang dimilikinya berhasil ditekan sehingga ia tidak bertumbuh menjadi seorang psikopat.

Para ahli yang meneliti psikopatik mendapati bahwa orang-orang psikopat biasanya memiliki sifat-sifat:

  • Kurang memiliki rasa empati, rasa bersalah, hati nurani atau perasaan menyesal.
  • Kurang bisa merasakan perasaan atau emosi.
  • Impulsif dan kurang mampu mengendalikan perilakunya.
  • Punya daya tarik atau pesona yang luar biasa.
  • Tidak bertanggung jawab dan tidak sanggup menerima tanggung jawab atas tindakan mereka.
  • Memegahkan diri sendiri atau merasa diri sangat hebat.

Tanda-Tanda Seseorang Mungkin Adalah Psikopat

Psikopat biasanya amat impulsif dan sangat emosian. Mereka sangat rentan menyalahgunakan zat-zat terlarang dan sering terkena kasus kriminal. Menurut Joseph Newman di University of Wisconsin, “Para pelaku kriminal yang psikopat memiliki 3 kali lebih mungkin untuk melakukan kejahatan dibandingkan dengan pelaku kejahatan lain, serta memiliki 2.5 kali lebih mungkin untuk melakukan perilaku antisosial lain seperti misalnya berbohong dan eksploitasi seksual.”

Mereka sangat sulit menjalin suatu hubungan akrab karena mereka kurang memiliki empati dan kurang mampu menunjukkan kebaikan kepada orang lain. Para peneliti percaya bahwa tanda-tanda psikopatik sudah bisa tampak pada anak usia dini—tampak hanya sedikit punya rasa takut, tidak peduli dengan teman-temannya, dan terlihat tidak berperasaan.

Apa yang Ada di Otak Seorang Psikopat?

Berbagai penelitian mendapatkan hipotesis bahwa otak seorang psikopat memiliki pola aktivitas otak yang berbeda. Khususnya di bagian amygdala—bagian otak yang memproses rasa takut, empati, dan emosi lain—dan di korteks frontal orbital—bagian otak yang digunakan ketika mengambil suatu keputusan—didapati bahwa aktivitas pada kedua bagian tersebut lebih sedikit dibandingkan pada otak seorang yang normal.

Suatu penelitian menemukan bahwa orang-orang dengan gangguan kepribadian antisosial (yang sering dikaitkan dengan perilaku psikopatik) rata-rata mempunyai volum frontal gyrus otak yang 18% lebih kecil.

Penelitian lain dari Archives of General Psychiatry membandingkan 27 psikopat dengan 32 psikopat dan mendapati bahwa psikopat memiliki volum amygdala yang lebih kecil. Penelitian yang dimuat Spring.org.uk juga menunjukkan bahwa psikopat memiliki lebih sedikit aktivitas di area otak yang memproses empati.

Hasil dari berbagai penelitian ini memperlihatkan adanya kaitan antara cara otak berfungsi/bekerja dengan perilaku psikopatik.

Bisakah Psikopat Disembuhkan?

Sayangya tidak ada ‘obat’ untuk menyembuhkan perilaku psikopatik. Namun semakin awal ‘kecenderungan psikopatik’ dideteksi, maka semakin banyak juga bantuan yang dapat diberikan. Memang diakui bahwa sangat sulit untuk mengajarkan empati kepada para psikopat, tetapi dengan memberinya kasih sayang yang besar dibarengi terapi yang tepat, hal ini akan membantunya untuk memiliki perilaku sosial yang wajar.

Pembahasan mengenai cara menangani dan merawat pengidap psikopat sebenarnya tidak jauh berbeda dari pembahasan tentang cara menangani residivisme (penjahat kambuhan) dan membantu rehabilitasi pelaku kriminal.

Karena para ahli memperkirakan bahwa sekitar 25% pelaku kriminal yang dipenjarakan menunjukkan tanda-tanda kecenderungan psikopatik, kita bisa menyimpulkan bahwa cara penanganan antara psikopat dan pelaku kriminal biasa kurang-lebih sama.

Salah satu model (metode) dari cara penanganan yang telah terbukti cukup berhasil adalah Model Decompression. Model ini dikembangkan oleh staf yang bekerja di Mendota Juvenile Treatment Center (MJTC) dengan pertimbangan dasar bahwa pengidap psikopat tidak memikirkan atau menanggapi hukuman kriminal dengan cara yang sama seperti non-psikopat (karena perbedaan aktivitas otak).

Oleh sebab itu diduga bahwa sebenarnya hukuman tersebut tidak efektif untuk menekan dan mencegah perilaku-perilaku kriminal—bahkan, para psikopat diketahui 6 kali lebih mungkin untuk kembali melakukan kejahatan setelah mereka keluar dari penjara.

Model Decompression berpusat pada prinsip ‘dukungan positif’. Jadi setiap kali pasien terlihat menunjukkan tingkah-laku baik, para anggota staf di MJTC akan langsung memberikan ‘hadiah’ (sebagai bentuk penghargaan). Ini karena meskipung otak psikopat tidak merespon hukuman dengan baik, namun mereka senang terhadap ‘hadiah’. Dengan begitu mereka jadi lebih terdorong untuk terus menunjukkan tingkah-laku baik.

Hasilnya: “Lebih dari 300 pasien yang dirawat di MJTC diperbandingkan dengan pasien-pasien yang tidak dirawat di MJTC dalam periode waktu 5 tahun. Dalam waktu 4 tahun kemudian, 98% dari pasien yang tidak dirawat disana ditangkap lagi karena tindakan kriminal, sementara itu hanya 64% dari pasien MJTC yang ditangkap. Ini berarti ada penurunan 34% kekambuhan (residivisme) setelah ditangani dengan Model Decompression.

Pasien MJTC 50% lebih kecil kemungkinannya untuk membuat tindak kejahatan, dan walaupun ada 16 mantan pasien MJTC yang setelah keluar tetap menyebabkan tewasnya orang lain, namun perlu dicermati bahwa para mantan pasien MJTC tidak melakukan pembunuhan langsung.

Yang Penting Diingat Untuk Menganani Psikopat

Jangan-jangan Anda sedang curiga kalau orang yang dikenal (atau bahkan yang dekat dengan Anda) sebenarnya adalah seorang yang memiliki ‘kecenderungan psikopatik’. Kalau begitu, kesimpulan terakhir yang dibuat berdasarkan hasil riset dari MJTC mungkin sangat penting untuk Anda ingat.

Menghukum psikopat itu sia-sia saja.

Jika Anda mencoba memberinya semacam hukuman untuk perilaku buruknya, itu hanya akan membuatnya jadi lebih buruk lagi—ingat, otak mereka tidak merespon hukuman dan rasa takut dengan cara yang sama seperti kita.

Berdasarkan riset ini, hal terbaik dan paling efektif yang bisa Anda lakukan adalah memberinya ‘dukungan positif’. Sebaliknya daripada mencoba menghukumnya atas kelakuan buruknya, cobalah cari hal-hal baik yang dia lakukan dan berikan pujian atau hadiah atas hal-hal baik tersebut.

Selalu tunjukkan penghargaan atas hal-hal baik yang telah atau sedang ia lakukan.

Bila Anda merasa yakin bahwa orang yang Anda kenal itu benar-benar memiliki ‘kecenderungan psikopatik’, sebaiknya tetaplah perlakukan dia dengan baik selama ia tidak melakukan tindak kejahatan.

Faktanya, tidak semua orang yang cenderung psikopat pasti akan melakukan kejahatan atau membunuh. Sebagai contoh, Dr. James Fallon adalah seorang ahli saraf asal Amerika Serikat yang menjalani kehidupan normal—punya keluarga dan anak—walaupun ia adalah seorang psikopat. Kisah bagaimana Dr. Fallon sampai menyadari kecenderungan psikopatik yang dimilikinya serta bagaimana ia mengatasinya dapat dibaca di situs TheGuardian.com.

Jadi dari penjelasan yang didapat di artikel ini, dapat disimpulkan bahwa seorang yang psikopat mungkin sejak kecil sudah mempunyai ‘kecenderungan psikopatik’—entah karena salah asuhan orang tua atau karena faktor genetik. Tetapi kecenderungan tersebut dapat ditekan semaksimal mungkin sehingga mereka punya kesempatan untuk bertumbuh menjadi orang dewasa yang berperilaku wajar.

Tentang Penulis

Artikel dibuat oleh tim penulisan deherba.com kemudian disunting oleh Cindy Wijaya seorang editor dan penulis beragam artikel kesehatan. Ia senang meriset dan berbagi topik-topik kesehatan dan pemanfaatan herbal. Tinggal di Bogor “kota hujan” sehingga mencintai suasana hujan dan sering mendapat inspirasi ketika hujan. Silakan klik di sini untuk kontak penulis via WhatsApp.

Anda mendapat manfaat dari artikel-artikel kami? Mohon berikan ulasan untuk terus menyemangati kami menulis > Google Review

{"email":"Email address invalid","url":"Website address invalid","required":"Required field missing"}